Dalam pembelian pesawat jenis MA-60 oleh Merpati Nusantara Airlines (MNA) diduga ada intervensi pejabat Istana dan terjadi penggelembungan dana (mark-up) yang merugikan negara hingga US$ 40 juta.
Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja BUMN Bersatu, FX Arief Puyuono, menilai jatuhnya pesawat MA-60 milik MNA di Kaimana, Papua, baru-baru ini bukan semata-mata karena tidak adanya sertifikasi Federal Aviation Administration (FAA).
“Penyebab jatuhnya pesawat kan bisa beragam faktor, apakah human error, teknik, ataupun faktor cuaca. Ini masih akan diselidiki oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT). Tapi, yang menarik di sini, kenapa pembelian MA-60 yang sifatnya G to G antara Pemerintah China dan Indonesia harus terjadi melalui jasa broker dan dengan harga per unit yang melebihi harga pasar?” ungkap Arif, kepada SH, Selasa (10/5).
Santer beredar berita bahwa pembelian MA-60 diintervensi oleh pejabat berinisial DY dan seorang broker berinisial MS yang bertugas mengegolkan pembelian pesawat melalui mekanisme Subsidiary Loan Agreement (SLA) agar disetujui pemerintah dan DPR. Harga MA-60 per unit di pasar dibanderol US$ 11 juta, namun kemudian menjadi US$ 14,5 juta, sehingga diperkirakan ada mark-up sekitar US$ 40 juta dalam pembelian 15 unit pesawat MA-60 buatan China tersebut, kata Arif.
Ia menilai pembelian 15 unit MA-60 seharga US$ 220 juta terlalu berlebihan sekalipun dengan alasan tambahan pengadaan simulator maupun suku cadang (sparepart). Arif mendesak DPR sebagai pihak yang awalnya menyetujui pembelian ini segera membentuk pansus. Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta menyelidiki selisih harga per unit yang mencapai US$ 3,5 juta.
Menko Perekonomian Sangkal
Sebelumnya, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa menyangkal berita tentang keterlibatan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dan keluarga dekatnya dalam pengadaan pesawat MA-60 buatan Xian Aircraft China. Menurutnya, rekomendasi yang diberikan Mendag seperti yang disampaikan oleh mantan pejabat di televisi, bersifat spekulasi.
Di Istana Negara, Senin (9/5), Hatta mengingatkan agar masyarakat menunggu KNKT melakukan investigasi tentang apa penyebabnya baru kemudian dilakukan langkah seperti apakah perlu ada penundaan operasi pesawat.
Menteri Perhubungan Freddy Numberi menyatakan pesawat jenis itu beroperasi di mana-mana. "Kalau saya lihat ini lebih disebabkan cuaca jelek. Namun kita lihat KNKT agar ada kesimpulan menyeluruh," katanya. Ia menjelaskan dari 15 pesawat, baru 13 pesawat yang beroperasi. Pesawat jenis ini beroperasi di berbagai wilayah di Indonesia.
Menteri Negara BUMN Mustafa Abubakar mendorong KNKT supaya cepat mengeluarkan hasil investigasi pascainsiden jatuhnya pesawati itu. Ia mengemukakan proses pengadaan pesawat Merpati jenis ini dilakukan pada 2005. "Saya meneruskan apa yang sudah berlangsung karena ini satu proses," ujar Mustafa.
Namun, Mustafa mengaku tidak akan menghentikan operasi agar kecelakaan tidak terulang, dan tidak akan meminta pertanggungjawaban dari Xian Aircraft dalam kecelakaan di Kaimana itu.
Sementara itu, PT Merpati Nusantara Airlines (MNA) membantah bahwa pembelian pesawat jenis MA-60 buatan Xian Aircraft Corporation seharga US$ 11 juta per unit dengan mesin Pratt & Whitney, China atas paksaan pihak tertentu.
“Semua ini murni pertimbangan bisnis karena ada SLA dari pemerintah dengan pembelian dalam mata uang rupiah dan bunganya lumayan rendah sekitar 3 persen. Pesawat ini tangguh dan aman. Saya ikut test flight melalui perjalanan panjang dan semuanya aman,” kata Direktur Utama PT MNA Sardjono Johnny Tjitrokusumo, di Jakarta, Senin (9/5) malam.
Mengenai banyaknya pihak yang meragukan kemampuan armada tersebut, maskapai ini mempersilakan otoritas penerbangan sipil melakukan audit terhadap perseroan dan armada tersebut. “Audit itu bukan hal yang ditakuti. Kami sudah menjalani audit lima bulan lalu untuk kenaikan kelas keselamatan. Sebelumnya posisi kami 1 minus, naik 11 poin menjadi 189 poin,” katanya.
Ia pun menegaskan tetap akan mengoperasikan MA-60 karena dinilai cocok dengan bisnis yang dijalankan dan memenuhi persyaratan keselamatan penerbangan di Indonesia.
Maskapai tetap akan mengoperasikan 13 pesawat dan sedang menunggu dua pesawat lagi yang akan datang pada 19 dan 20 Mei 2011. “Pesawat ini memiliki sertifikat kelaikan terbang dari otoritas penerbangan sipil China dan Indonesia. Bagi kami itu sudah cukup, tidak perlu ada sertifikat dari Federal Aviation Administration (FAA). Ini urusan bisnis antardua negara,” tuturnya.
Jatuhnya satu unit pesawat MA-60 membuat Merpati mengalami kerugian sekitar US$ 15 juta. “Merpati butuh satu kebijakan 'sapu jagad' seperti penyertaan modal negara, bisa itu debt to equity swap karena utang Merpati itu paling banyak ke negara. Selain itu, kami butuh working capital yang lumayan besar. Hingga saat ini bantuan dari pemerintah belum cair untuk operasional,” tuturnya.
Tak Ada “Grounded”
Direktur Jenderal Perhubungan Udara Herry Bakti S Gumay mengungkapkan, pemerintah belum akan melarang terbang pesawat MA-60. Keputusan mengenai grounded (larangan terbang) pesawat jenis MA-60 milik Merpati ini masih harus menunggu hasil investigasi KNKT. Hasil investigasi akan diperoleh dari kotak hitam (black box) Flight Data Recorder (FDR) Merpati yang tenggelam.
Secara terpisah, Ketua KNKT Tatang Kurniadi menyatakan kotak hitam dan FDR akan dikirim ke China, tempat pesawat tersebut dibuat. FDR tidak dapat dibuka dan dianalisis oleh KNKT karena tidak memiliki perangkat lunaknya.
"Software yang kami miliki buatan Amerika, sedangkan FDR itu buatan China," ujarnya.
"Software yang kami miliki buatan Amerika, sedangkan FDR itu buatan China," ujarnya.
Namun, Cockpit Voice Recorder (CVR) atau rekaman percakapan pilot di kokpit, sampai saat ini masih diupayakan ditemukan di Perairan Kaimana, Papua Barat. Jika nanti telah ditemukan, CVR tidak perlu dikirim ke China.
Anggota Komisi V DPR Nusyirwan Soejono mengatakan pesawat jenis MA-60 ini harus mengantongi sertifikasi internasional. Prosesnya dapat dilakukan secara bertahap dan selama proses, pesawat dikandangkan dahulu atau tidak boleh terbang. Sertifikasi internasional untuk pesawat MA-60 ini wajib untuk keselamatan dan urusan asuransi.
Saat dikonfirmasi kepada MNA, Vice President Public Relation Merpati Nusantara Airlines Sukandi, enggan berkomentar. “Saya tidak berkompeten menjelaskan perihal tersebut. Soal harga pesawat, Pak Dirut dan Pak Dirkeu-lah yang lebih tahu,” katanya. Sementara itu, Direktur Keuangan MNA Tony Aulia Achmad yang dikontak SH mengatakan, ia tengah berada di Bukittinggi, Sumatera Barat untuk melakukan salat jenazah terhadap salah satu korban jatuh pesawat MA-60 di Kaimana, beberapa waktu lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar